Bus orange bertuliskan Blok M-Tanah Kusir 71 melintas di hadapanku yang seakan tak mampu lagi berjalan setelah lelah menjunguk binatang-binatang langka di Ragunan. Tak banyak pikir aku lambaikan tangan ke arah bus yang menandakan aku siap menjadi penumpang setianya sampai tujuan.
Cahaya remang-remang dari matahari sebentar lagi menghilang dari pandangan mataku dan kegelapanpun mulai menampakkan diri ke hadapanku. suara bising dari knalpot kendaraan beroda dua, tiga dan empat dengan setia menemani perjalananku ke kediaman yang jauh dari orang tua.
Bus yang aku tumpangi berhenti sejenak untuk kembali melayani penumpang baik yang turun maupun yang naik. Satu per satu penumpang baru naik dan mulai mencari temppat duduk yang masih lowong. Namun, satu dari penumpang baru itu tidak dengan sesegera mencari tempat duduk. Ia bahkan dengan gagah berdiri di hadapan kami sambil memegang beberapa lembar kertas putih tanpa secerca goresan. Tiba-tiba, ia berorasi selayaknya MC di tv yang sering kita lihat. Kemudian, ia lanjutkan dengan hentakan-hentakan suara bermakna.
Kegelapan pasti akan datang.
Tetapi kegelapan tidak akan pernah kekal.
Kegelapan takkan pernah mematikan kita.
Kegelapan takkan mampu menghentikan kita untuk berusaha.
Kita kuat,
Kita percaya bahwa cahaya pasti perlahan datang,
menggantikan kegelapan ini.
Lalu, apa yang terjadi jika waktu yang menghadang,
waktu tak mau lagi menemani kita.
kita takkan mampu lagi berusaha.
kita takkan mampu lagi berlari.
takutlah jika waktu mati,
dan jangan pernah takut akan kegelapan.
Kata demi kata ia teriakan dengan semangat penuh membara. Para penumpang pun terkejut dengan apa yang telah ia lakukan tidak terkecuali saya. Inilah pelestari sastra Indonesia. Inilah sebuah sastra berjalan.
Namun, ada satu hal yang masih membuat aku bingung. Kertas. Ya, kertas putih polos yang ia bawa mau digunakan untuk apa. Ia gulung kertas itu sehingga menyerupai corong yang biasa kita lihat di pangkalan minyak tanah. Ia mulai tadahkan kertas itu dari baris paling depan. Satu per satu uang baik logam maupun kertas jatuh ke gulungan kertas berbentuk corong itu. Itulah penghargaan yang diberikan para penumpang bus kepadanya.
Tulisan pendek ini saya buat sebagai penghargaan untuk ia sang sastra berjalan. Sastra dibalas dengan sastra. Terus lestarikanlah Sastra Indonesia.
0 comments:
Post a Comment